Jakarta 2021
Sepasang burung alap-alap
Bercengkerama di puncak menara
Menikmati udara segar sedikit saja
Oasis di jantung kota
Sang betina dari tadi bertengger di jendela
Membawa hasil tangkapannya
Memanggil dengan lantang
Ayo makan malam bersama
Sang pejantan datang membawa cerita
Tawa anak-anak yang lulus pelajaran jarak jauh
Diwisuda di depan layar masing-masing
Bermain bola di jalanan kosong
Masa depan terbuka lebar
Penuh tanda tanya
Di cakrawala
Gedung Pramuka, Pertamina, hingga Taman anggrek di ujung barat
Gunung Salak di selatan
Gedung pos, Mangga dua, dan apartemen-apartemen di atas reklamasi Pantai Utara
Tak tampak Kota Tua
Atau VOC Galangan yang sempat jadi restoran
Saksi berlayarnya bahtera pernikahanku
Mengarungi dunia, lalu kembali
Ke ujung jalan tempat kelahiranku
Di sisi timur, di balik menara
Terminal Senen tak seriuh rendah dulu
Stasiun tak dipadati pemudik yang kembali
Berbagi penyakit dengan sanak saudara dan rekan seperjalanan
Di tengah-tengah
Monas bercahaya warna-warni
Meski andong dan kaki lima
Tak lagi menghiasi pelatarannya
Di sebelahnya
Patung pembebasan Irian Barat
Berdiri sendirian di Lapangan Banteng
Bebas dari siapa? Jakarta?
Air mancur tak lagi menari di kakinya
Nun jauh di sana
Cendrawasih berkicau sesuka hati
Di belantara antara bukit-bukit emas galian
Persis di depan
Gedung kementerian keuangan terawat rapi
PNS kerja dari rumah
Mencari harta karun dalam data ber terra-terra banyaknya
Memastikan roda terus berputar
Agar tak ada perut lapar
Bapak-bapak tua yang tidur dalam gerobak, di samping Kalilio, di depan gerbang
Nggak punya alamat, nggak ngurus KTP, nggak ngerti KJS, nggak mudeng BPJS, ogah suntik vaksin apaan
Mengumpulkan masker-masker dari tempat sampah
Biar jadi duit
Tak ada yang berterima kasih padanya
Menyelamatkan laut seribu pulau
Dari plastik dan sampah yang mematikan terumbu karang
Ia tidak tahu
Indonesia negara menengah kaya
Mematri tempat di dunia
Di pojok rumah sakit angkatan darat
Stovia sempat menggelar kelas-kelas
Anak-anak dan para ibu belajar menari
Mengenal budaya tak ada habisnya
Menanti pintu-pintu terbuka kembali
Apa yang akan terlahir dari bangsa ini
Istiqlal tahun ini sepi
Sholat Ied di rumah
Masuk Katedral dihitung, dibatasi
Sakramen maha kudus dinyanyikan dalam hati masing-masing
Aku berdoa bagi Jakarta
Juga Haji Saidi dan Hajah Halimah Saeran
Yang tinggal nama jalan
Sebelum kami pindah ke sana
Anak cucu di pinggiran
Tergeser kota yang doyan makan
Obesitas, makan tempat hingga tak muat
Aku berdoa bagi kita, bagi dunia
Untuk hidup yang mati-matian dipertahankan
Di ICU yang tertutup rapat
Teman sejawat jadi astronot
Sementara aku merawat jiwa-jiwa kesepian
Hampir empat puluh tahun yang lalu
Di belakang planetarium
Tempat para seniman berjaya
Seorang penyair berkata
“Nanti kalau semua habis
Tinggal gema suara kami melayang di angkasa
Jakarta akan jadi nama burung,
Nama bunga, nama persahabatan dan kesetiaan
Nama keberanian menerima dan mencintai” *
Jari-jemari kecilku waktu itu berjuang
Melepaskan merpati-merpati
Dari penantiannya
Sementara wajah teater tertutup
Mendadak terbuka ke panggung dan stadion bertingkat di baliknya
Lepas ke angkasa
Jadi mangsa falkon yang sibuk bercinta di langit Jakarta
Selamat ulang tahun Jakarta
Selamat ulang tahun kampung halamanku
Seperti Amerika punya Patung Liberty
Lambang harapan kebebasan kemakmuran
Jakarta milik Indonesia
Punya kita, anak-anaknya
Harapan hidup di bumi
Dan kelak hidup abadi
Apartemen Mitra Oasis Sarana lantai 14, 9 Juni 2021 (dalam rangka Ulang Tahun Jakarta ke-494, 22 Juni 2021)
- Kutipan dari puisi Eka Budianta “Jakarta Chris, Jakarta” Stasi XXV, dari buku Rumahku Dunia hal.140, dengan pembacaan puisi di Taman Ismail Marzuki, Teater Tertutup, 1984